Jakarta, CNBC Indonesia – Pemerintah Indonesia tidak tinggal diam menyikapi mundurnya upaya kesepakatan pemajakan perusahaan digital yang turut beroperasi di pasar domestik.
Mundurnya kesepakatan pengenaan pajak bagi perusahaan digital itu terjadi setelah pembahasan di Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) ditetapkan ditunda menjadi pertengahan 2024 dari sebelumnya akhir 2023.
Dalam keterangan di dokumen berjudul Update to Pillar One timeline by the OECD/G20 Inclusive Framework on BEPS (Base Erosion and Profit Shifting) batas waktu penandatanganan multilateral convention (MLC) Pilar 1: Unified Approach pembahasannya ditargetkan menjadi Maret 2024, dan rencana penandatanganan kesepakatan pada Juni 2024.
“Nah ini yang memang ada beberapa detail yang sedang dibahas tadinya kan memang diharapkan akhir tahun 2023 ya, tetapi ini dimundurkan ke pertengahan 2024,” kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Nathan Kacaribu saat ditemui di kantor pusat Kementerian Keuangan, dikutip Rabu (3/1/2023).
Menyikapi pengunduran pembahasan itu, pemerintah Indonesia menyatakan akan terus terlibat aktif dalam pembahasan di forum itu supaya kesepakatan pemajakam terhadap perusahaan digital itu bisa betul-betul terealisasi.
“Indonesia tentunya kita secara aktif menjadi bagian dari forum ini dan tentunya menyuarakan kepentingan negara negara berkembang seperti Indonesia,” tegas Febrio.
“Tentang bagaimana nanti kita arahnya ya kita akan push terus dan ini adalah hak pemajakan yang sangat adil,” ungkapnya.
Pemerintah pun mempertimbangkan berbagai opsi lain untuk bisa segera mengenakan pajak perusahaan digital itu, seperti opsi yang ada di antaranya penerapan unifikasi pajak penghasilan perusahaan digital yang perusahaan intinya tak beroperasi di dalam negeri.
“Tapi tentunya kita coba lihat dulu arah kesepakatan ini nanti menuju pertengahan 2024, kita juga tentunya sebagai negara yang sovereign ya kita juga menyiapkan alternatif-alternatif. Tapi, kita lagi coba kaji ya apa opsi-opsi mana saja yang bagus,” tutur Febrio.
Febrio menekankan, yang telah dilaksanakan pemerintah saat ini adalah mengenakan pajak pertambahan nilai atas produk yang dijual perusahaan digital itu di dalam negeri. Sebagaimana ditetapkan dalam PMK 48/2020 tentang PPN melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE).
“Nah disepakati bahwa negara pasar sebenarnya punya hak untuk pemajakan juga gitu ya nah selama ini pemerintah Indonesia sudah melakukan yang namanya PPN itu sudah berjalan dan itu tidak ada masalah. Sekarang kan yang sedang dibahas itu adalah pilar 1 itu hak pemajakan terhadap pph nya gitu ya,” ucap Febrio.
Sebagai informasi, dalam dokumen Update to Pillar One timeline by the OECD/G20 Inclusive Framework on BEPS yang dipublikasikan OECD pada 18 Desember 2023 disebutkan bahwa penundaan pembahasan pilar 1 karena alotnya pembahasan MLC karena dianggap ada negara yang melenceng dari kesepakatan konsensus dalam menerapkan unilateral digital service tax (DST). https://merujaksore.com/